Sehari dalam Kehidupan Sutardji Calzoum Bachri (di Hotel Sultan Jakarta)

- 30 Juni 2024, 10:16 WIB
Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri /dok /

Oleh Shafwan Hadi Umri *)

 

Pada acara Pertemuan Sastrawan Indonesia di Hotel Sultan Jakarta 25 Juni 2024, saya bertemu kembali dengan “Presiden Penyair Indonesia” Sutardji Calzoum Bachri. 

Sosok dan tubuhnya begitu tegar dan kuat seperti kesetiaan dirinya berpuisi. Di balik wajahnya yang berjenggot abu-abu nyaris putih dan sebuah topi pet di kepalanya. 

Ia menyapa dengan ramah dan mengingatkan pertemuan kami yang pertama di Medan ketika Kongres Kesenian (1995). Saat itu ada Salim Said (Ketua DKJ), Taufiq Ismail, Saini Km. 

Kemudian bertemu kembali ketika pertemuan para kepala Balai Bahasa di Pusat Bahasa pada 2003,.ketika itu dia berdampingan dengan penyair Dr. Abdul Hadi WM menyampaikan paparan sekitar dunia kesusastraan di Indonesia. 

Beberapa pertemuan dengan Sutardji terjadi dalam Festival Sastra Gunung Bintan yang ditaja Datuk Rida K Liamsi di Tanjung Pinang.

Dalam pertemuan singkat sebelum pulang ke Medan, saya ditemani Anwar Putra Bayu dan Fanny Gerson Poyik serta Jaya Arjuna mengusik Sutardji tentang puisinya dengan setengah berbisik sekaligus mengingatkan baris-baris puisinya, ”dengan seribu gunung ,gunung tak runtuh, dengan seribu perawan hati tak jatuh, dengan siapa aku mengeluh.” 

Seterusnya, Sutardji menyampaikan deklarasi puitiknya, ”apa guna gunung lambai, kalau lambai tak sampai. Apa guna peluk diketatkan kalau hati tak sampai..

Dia tidak tertawa tapi tunduk tersenyum .Sebelum ia berkomentar, saya menyampaikan bahwa ada hubungan interteks puisi itu dengan pantun Melayu: ”Apa guna kepok di ladang/Kalau tidak berisi padi/Apa guna pelok dan sayang/ Kalau tidak sepenuh hati.” 

Beliau serius menanggapi bahwa dalam menyampaikan ’deklaratif puitik’ ada dua dimensi yang tak boleh hilang. Pertama kelembutan dan kedua ketegasan. Allah itu Maha Latif (Mahalembut) tapi juga dalam peristiwa lain Mahagarang, kuat dengan cara lemah lembut Allah Yang Maha Lembut (Ya Latthif) menyapa kita dengan segala firman-Nya tapi dalam dimensi lain Allah Maha Perkasa (Ya Maha Aziz). 

Saya kira seorang penyair sebagai musafir kata, ia perlu memperhatikan dua dimensi tentang kelembutan dan keperkasaan ini. Dia berkomunikasi dengan pembaca dengan orang lain dengan cara bertutur lemah lembut dan pada peristiwa lain dia perlu tegas dan keras untuk menyampaikan protes dan perlawanan kultural sebagai penyair.

Perlawanan kultural itu disampaikan Sutardji dalam penutupan acara Anugerah Sastrawan 2024 dengan puisinya “Tanah Air Mata*. 

Ia pun berpuisi, Tanah air mata tanah tumpah dukaku/ Mata air mata tanah air kami/Di sanalah kami berdiri/ Menyampaikan airmata kami.

Dalam penutup puisinya yang menggelegar sedikit bergetar . Sutardji sang penyair kelahiran Riau ini menutup pesan dengan nada imperatif dan keras, “kalian sudah terkepung.takkan bisa bergerak/takkan bisa kemana pergi/ menyerahlah pada kedalaman airmata kami.”

Puisi adalah jalan (tao) yang dipilih penyair untuk menyampaikan aspirasi, kritik, inspirasi, dan deklarasi kepada pembaca sebagai orang kedua. Ia seperti kata Goenawan Mohamad, “seorang yang bersendiri menyampaikan pesan dari hati ke hati” Pernyataan ini mirip dengan kemerdekaan seorang penyair yang memiliki kepribadian tunggal untuk menempuh jalannya sendiri (tao) yang mungkin tak pernah dilalui orang lain seperti disindir Robert Frost. Sebagaimana pernah diteriakkan Chairil Anwar, “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang” atau nyanyian legendaris Frank Sinatra I do it my Way….”

Medan, 30 Juni 2024.

______

*) Prof. Shafwan Hadi Umri adalah sastrawan asal Medan, Sumatera Utara. Ia kini menjabat Ketua Satupena Sumatera Utara.***

 

Editor: Isbedy Stiawan ZS


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah