Buku Terakhir Tahun 2023, Mundzir: Membaca Pengalaman Naik Bus dari M. Faizi

1 Januari 2024, 12:10 WIB
Ibnu Mundzir dan buku 'Ruang Kelas Berjalan' karya M. Faizi /kolase foto pribadi/

LAMPUNG INSIDER – Selamat tahun baru, yakni 2024. Ini waktu, langkah pertama untuk mencapai sekira 364 hari kemudian.

Kemarin, Minggu 31 Desember adalah hari terakhir tahun 2023. Banyak yang merefleksi ulang segala yang telah dilakukan, sambil menyerpihi yang sesuai target, kurang, dan gagal. Untuk dirancang ulang buat tahun berikutnya. Begitulah setiap hendak pergantian tahun. Berulamg.

Ibnu Mundzir, lelaki asal Braja Harjosari, Kecamatan Braja Selebah, Lampung Timur yang kini menetap di Aceh, diketahui sebagai peneliti antarprovinsi di Indonesia dan mancanegara. Ia juga diketahui penyuka baca lalu dikoleksi. 

Kabarnya, dalam setiap perjalanan ke luar kota atau negara, dibawanya beberapa judul buku. Untuk dibacanya. Aktivitas idirinya itu terekam di laman facebook (FB) pribadinya.

Dari laman media sosialnya itu pula, hari terakhir 2023, ia menulis catatan akhir.

“Apa buku terakhir yang Anda tamatkan tahun ini?” ia buka dengan pertanyaan ini di status FB, Minggu 31 Desember 2023. 

Inilah catatan alhir tahun Ibnu Mundzir.

Apa buku terakhir yang Anda tamatkan tahun ini? Ruang Kelas Berjalan: Catatan Perjalanan dari Terminal ke Terminal karya M. Faizi, baru saya selesaikan siang ini. Pembacaan terhadap buku ini dan pengalaman nge-bus mengingatkan:

Pertama, naik bus itu menyenangkan penulis buku ini begitu menikmati bus hingga ia lebih memilih untuk naik bis bumel (bus ekonomi tanpa AC, dengan format baris kursi penumpang 3 - 2) dibanding bus patas atau kasta di atasnya. 

Menurutnya, naik bus ekonomi lebih memungkinkan untuk berinteraksi dengan penumpang lain yang duduk di sebelah. Kesenangan membuat penulis ada kalanya naik bus demi pengalaman naik bus itu sendiri. Sampai ke kota tujuan adalah nomor 17 sekian. Sebagai penempuh jalur Madura -Jogja atau Surabaya - Banyuwangi, ia pun tak bisa pindah ke lain Akas. 

Kedua, bus sebagai tempat belajar. Bus memfasilitasi kita belajar melalui interaksi dengan kru bus dan penumpang lain. 

Anggota perkumpulan bis mania bisa hafal spesifikasi berbagai bus secara detail berikut nama dan kebiasaan kru. Penulis yang pengasuh pesantren ini sering naik bus dengan mengenakan sarung. Karenanya, boleh juga kita sebut bus sebagai madrasah berjalan.

Ketiga, bus sebagai tempat ujian. Setelah belajar, biasanya ada ujian. Bus adalah tempat ujian kesetiaan, kejujuran, kesabaran, kesatriaan, dan keimanan. Jangan bilang Anda seorang kesatria jika tega membiarkan orang lanjut usia berdiri di bus. 

Saat naik bis malam, penulis buku sering berhenti sebelum tujuan akhir yang sudah dibayar untuk menunaikan sholat subuh lalu mencari bus lain.

Keempat, bus itu romantis. Kalau Anda naik bus terus ada bayangan seseorang terus berkelebat di luar jendela, maka tandanya Anda mulai jatuh cinta. 

Hujan yang menemani saat naik bus juga menghadirkan rindu. Ada derai tipis-tipis yang membawa ia yang tak terjangkau. Ada gerimis yang mengingatkan pada yang telah berlalu. Ada hujan deras yang menghadirkan pasangan. Salah satu gombal terbesar adalah menemani seseorang naik bus untuk memastikannya sampai tujuan dan begitu ia turun, Anda langsung putar balik ke tempat awal bersama bus itu. 

Kelima, bus itu perpustakaan berjalan. Bepergian adalah waktu untuk membaca. Saya membaca di DAMRI, L300, angkot, andes, metromini, Greyhound, Amtrak, Shinkasen, feri, dan pesawat. 

Dosis standar saya adalah menamatkan satu buku sederhana dalam perjalanan dengan minibus umum (L300) Banda Aceh-Bireun (sekitar lima jam perjalanan). 

Saya pernah penasaran, berapa buku yang akan saya baca kalau saya naik pesawat dari Banda Aceh-Papua pulang pergi. 

Ternyata saya menamatkan empat setengah buku (kumpulan artikel Jurnalisme Sastrawi, Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Mochtar Lubis, Islam Agama Cinta dan Kebahagiaan, novel Maryam + setengah buku No-Nonsense Guide to Human Right) dalam perjalanan Banda Aceh-Jakarta-Makassar-Jayapura-Manokwari-Jakarta-Banda Aceh. 

Berapa buku yang perlu saya siapkan untuk menikmati rute bus terpanjang di Nusantara: Perusahaan Motor Transport Ondemener Hasan (PMTOH) yang menempuh 2.693 KM jarak Banda Aceh-Solo?***

Editor: Isbedy Stiawan ZS

Tags

Terkini

Terpopuler