3/
Rabu, 26 Mei 2010, pada acara Sastra Reboan di Wapres Bulungan, Blok M, saya bertugas sebagai moderator untuk diskusi. Selain Jokpin yang datang dari Yogya, narsum lainnya adalah Aan Mansyur (penyair Makassar), Heru Emka (penyair Lampung), dan Kurnia Effendi (penyair-prosais Jakarta).
Kiprah komunitas sastra dan kantong-kantong kebudayaan dalam dinamika modernisasi masyarakat dilihat Jokpin sebagai pemberontakan dalam sunyi. “Pemberontakan terhadap kecenderungan situasi yang membuat orang tidak merasa nyaman dan akrab terhadap sastra, sehingga mereka menganggap sastra terkesan eksklusif, berat, dan bahkan 'menakutkan',” katanya.[1]
Maka, dengan kredo seperti itulah Jokpin menyusun puisi-puisi yang tidak terkesan eksklusif, tidak berat, tidak menakutkan. Dia memiliki "urat humor" dalam memilin diksi baik dalam puisi maupun dalam interaksi sehari-hari. Sependek pengetahuan saya, Jokpin adalah yang pertama kali menggunakan ucapan ‘Selamat Menjalankan Ibadah Puisi’ di kalangan para penulis, ketika kaki-kaki waktu bergegas memasuki bulan Ramadan.
Menutup obituari singkat ini, saya pinjam puisi Jokpin berjudul “Perjamuan Khong Guan”.
Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa
Nomor kontak saya hilang semua
Satu-satunya yang tersisa
Adalah nomorMu