Sastra Masuk Kurikulum: Sebuah Catatan Kecil

- 26 Mei 2024, 23:37 WIB
Sastra Masuk Kurikulum memunculkan kontra dari sejumlah sastrawan Indomesia
Sastra Masuk Kurikulum memunculkan kontra dari sejumlah sastrawan Indomesia /

Atas pertimbangan itu, program “Sastra Masuk Kurikulum” perlu kita dukung sampai titik darah penghabisan, kita sambut dengan penuh optimisme, kita kawal implementasinya, kita protes keras jika sekadar omdo—omong doang, dan kita sempurnakan titik-titik lemah yang mungkin bakal menjadi problem serius program ini! Berikut catatan kecil yang (semoga) menjadi bahan pertimbangan.

Pertama, berpegang pada logika umum: “Semakin banyak buku yang dikirim ke sekolah atau yang dapat diakses para siswa dan guru, semakin terbuka peluang mewujudkan tujuan program ini,” maka jumlah buku sastra—termasuk cergam dan nonfiksi—yang direkomendasikan untuk setiap jenjang pendidikan perlu ditambah secara signifikan.

Jumlah buku sastra sebanyak 43 buah untuk SD/MI, 29 untuk SMP/Mts, dan 104 untuk SMA/SMK/MA/MAK, gak nendang, terlalu amat sedikit. Sungguh mengherankan, bagaimana para kurator menentukan jumlah buku untuk ketiga jenjang pendidikan itu seperti terperangkap semangat puas diri: yang penting karyaku masuk! Akibatnya, ya itu, jumlah buku yang direkomendasikan jadinya terkesan ala kadarnya!
Katanya, buku-buku yang direkomendasikan itu merepresentasikan keberagaman: (1) gender, daerah/geografi, dan topik; (2) zaman; (3) tema; (4) kelompok minoritas; dan (5) bentuk sastra, tetapi kok cuma segitu jumlah buku yang direkomendasikannya. Bahkan, untuk bacaan SMP/Mts, rasanya tidak masuk akal program nasional cuma merekomendasikan 29 buku. Naif, cuma 29 buku!

Berdasarkan pemikiran itu, layak dipertimbangkan dan sama sekali tak berlebihan jika jumlah buku untuk SD/MI 200 buah; untuk SMP/Mts 250 buah, dan untuk SMA/SMK/MA/MAK 300 buah; atau 300 buku untuk SD/MI, 250 buku untuk SMP/Mts, dan 200 buku untuk SMA/SMK/MA/MAK.

Niscaya tidak sulit-sulit amat menemukan jumlah buku segitu yang sesuai dengan kriteria di atas. Jika program penyebaran buku sastra ke sekolah-sekolah dapat terwujud, jangan salahkan program ini jika dalam satu—dua dekade ke depan, muncul penulis atau sastrawan besar yang mengguncangkan dunia!

Kedua, proporsionalitas itu juga dapat digunakan untuk memilih karya berdasarkan asal pengarang. Yang terjadi pada buku yang direkomendasikan tampak tidak mempertimbangkan daerah atau geografi. Tidak banyak kita jumpai karya pengarang dari kantong-kantong produksi karya sastra: Sumbar, Sumut, Lampung, Banjarmasin, Makassar, Palembang, Pekanbaru, Tanjungpinang, Kendari, dan entah wilayah mana lagi. Memangnya para pengarang di wilayah-wilayah itu gak ada yang menghasilkan karya berkualitas dan cocok untuk pengajaran sastra? Jadi, pertimbangan keberagaman daerah/geografi, kesannya cuma omdo!

Ketiga, kita paham kompetensi, kualitas, dan reputasi para kurator. Maka, buat mereka memberi catatan ringkas 10-30 kalimat tentang buku-buku yang direkomendasikannya, bukanlah perkara sulit. Oleh karena itu, penting artinya para kurator memberi catatan, tidak hanya sebagai pertanggungjawaban akademis atas pilihannya, tetapi juga dapat difungsikan sebagai informasi awal para guru yang hendak mengajarkan dan mendiskusikan buku tersebut.

Pertanyaannya sekarang: Bagaimana dengan buku karya para kuratornya sendiri? Ya, tetap, diberi catatan. Meski begitu, untuk memberi kesan (seolah-olah) objektif, ya tukeran saja sesama kurator biar sama-sama enak!
Nah, catatan itulah yang nanti menjadi kunci dalam semacam buku pengantar program Sastra masuk Kurikulum. Kalaupun diperlukan semacam buku Panduan sebagaimana yang terjadi sekarang, sifatnya sekadar informasi ekstrinsik: Biodata ringkas, kiprah kepengarangan, dan ringkasan isi buku. Sudah, itu saja! Tidak perlu ada penafian, catatan penafian, panduan penggunaan buku, sampai ke keterkaitan dengan mata pelajaran lain. Tolong, mengertilah, bahwa karya sastra itu dapat diperlakukan sebagai (i) potret sosial-budaya, (ii) catatan peristiwa, (iii) sejarah pemikiran, (iv) dinamika perubahan sosial, (v) pesan filsafat, agama, ideologi, kemanusiaan, dan seterusnya.

Guru-guru kreatif, percayalah, sudah sangat paham mengenai perkara itu: bagaimana karya sastra tertentu, bisa ditarik ke mana-mana, ke pelajaran apa pun, ke bidang apa pun sesuai dengan kekuatan karya bersangkutan.

Sebut misalnya, Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Ia boleh ditarik ke (i) pesan agama, (ii) linguistik, (iii) filsafat, (iv) budaya Melayu, (v) sejarah, dan seterusnya. Karya-karya besar—karena ia mengangkat problem manusia dan kemanusiaan, maka di dalamnya kita “menemukan” pelajaran lain, ilmu lain, bidang lain. Itulah sebabnya, kajian karya sastra kini melebar memasuki berbagai bidang: kultur etnik, lingkungan hidup, kuliner, dan seterusnya.

Halaman:

Editor: Isbedy Stiawan ZS


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah