Sastra Masuk Kurikulum: Sebuah Catatan Kecil

- 26 Mei 2024, 23:37 WIB
Sastra Masuk Kurikulum memunculkan kontra dari sejumlah sastrawan Indomesia
Sastra Masuk Kurikulum memunculkan kontra dari sejumlah sastrawan Indomesia /

 

“Sastra Masuk Kurikulum” sesungguhnya merupakan program yang dalam hampir tiga dekade pernah diperjuangkan dan dirancang implementasinya—dengan format lain, oleh otoritas terkait, yaitu Depdikbud.

Oleh karena itu, peluncuran program itu sebagai “turunan dari Episode Merdeka Belajar ke-15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar” bagi sastrawan laksana harapan yang sekian lama terpendam dan hampir padam, kini (seolah-olah) bersemi kembali.

Bagaimanapun, penyebaran karya sastra ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia—lewat pengiriman fisik atau bentuk digital—tentu saja membuka peluang yang lebih luas bagi para siswa, bukan untuk menjadi sastrawan, melainkan untuk “meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas, serta nalar kritis peserta didik” sebagaimana yang menjadi tujuan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 yaitu untuk menguatkan kompetensi dan budaya literasi membaca.”

Penyebaran buku-buku sastra—meski lewat format digital, memungkinkan imajinasi para siswa berselancar menjelajahi dunia fiksional yang bebas-merdeka.

Sejak tahun 1980-an keluhan publik bahwa minat baca para siswa kita sangat rendah yang lalu menciptakan opini, bahwa sumber masalahnya terletak pada minimnya waktu pengajaran sastra di sekolah, seperti lingkaran hantu yang berputar-putar di sekitar sekolah, guru, dan kurikulum.

Tetapi, yang paling mantap menjadi kambing hitam adalah kompetensi guru di bidang sastra. Meskipun begitu, jawaban para guru juga tidak kalah mantapnya: “Memangnya guru ngurusin sastra doang?” Maka, serangkaian pertemuan ilmiah, seminar, diskusi dan berbagai kerabatnya, coba dilakukan. Muaranya jatuh pada kurikulum yang kerap gonta-ganti mengikuti pergantian menterinya.
Begitulah dunia sastra dalam hubungannya dengan pengajaran sastra (di sekolah).

Kini muncul program “Sastra Masuk Kurikulum”. Salah satu implementasi dari program ini adalah penyebaran buku-buku sastra dengan berbagai ragamnya, termasuk di dalamnya, komik (cerita bergambar) dan esai! Nah, bagian itulah yang akan jadi pemantik “untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas, serta nalar kritis peserta didik.”

Kurikulum ideal yang dirumuskan para dewa sekalipun, jika buku-bukunya tidak tersedia di (perpustakaan) sekolah atau para siswa sekadar dapat menjumpai judulnya doang, niscaya tetap akan terjerumus jadi iklan: “Ah, teori!”

Halaman:

Editor: Isbedy Stiawan ZS


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah