Sastra Masuk Kurikulum: Sebuah Catatan Kecil

- 26 Mei 2024, 23:37 WIB
Sastra Masuk Kurikulum memunculkan kontra dari sejumlah sastrawan Indomesia
Sastra Masuk Kurikulum memunculkan kontra dari sejumlah sastrawan Indomesia /

Dalam Panduan, di bagian akhir pembicaraan setiap buku, ada subjudul “Keterkaitan dengan Mata Pelajaran.” Jika instruksi itu dilaksanakan sesuai petunjuk Panduan, bagi guru, kayaknya instruksi itu akan berubah jadi godam raksasa yang bakal menggiring mereka masuk poliklinik terdekat! Apalagi bagi guru Sekolah Dasar yang harus mengajar berbagai pelajaran. Boleh jadi kecemasan saya ini berlebihan. Tetapi, setidak-tidaknya, pesan di bagian akhir itu, mirip-mirip instruksi doktriner. Oleh karena itu, ia bertentangan dengan semangat Merdeka Belajar, malahan cenderung menjelma iklan zaman dulu: “Ah, teori!”

Masalah paling serius dalam program “Sastra Masuk Kurikulum” ini terletak pada buku Panduan. Selain bagian-bagian yang disebut di atas, juga menyangkut perkara penyajian. Narasinya terbata-bata; kalimat yang sama muncul berulang kali, penjelasan terlalu umum dan cenderung ngawur (semoga bukan campur tangan makhluk AI), dan beberapa informasi yang menyesatkan menjadikan Panduan itu terperosok menyempil di bawah standar.

Sekadar contoh, saya kutip keterangan tentang Pram berikut ini: “Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan besar Indonesia yang novel-novelnya sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing. Bahkan, lewat karyanya ia pernah dinobatkan sebagai peraih hadiah Nobel” (hlm. 346). Kita tahu, Pram memang pernah dicalonkan untuk meraih Hadiah Nobel. Tetapi baru sebatas dicalonkan, belum dinobatkan. Itu saja. Untuk kasus Pram, bolehlah kita memberi pemaafan.

Tetapi bagaimana dengan keterangan tentang Sutardji Calzoum Bachri? Berikut saya kutip pernyataan dalam Panduan itu: “Lahir di Rengat, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941, beliau dianggap sebagai salah satu pelpor (sic!) Angkatan 66 dan Presiden Penyair Indonesia.... Beliau meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 2020, meninggalkan warisan yang kaya dalam dunia sastra Indonesia” (hlm. 436). Dari mana informasi itu, wong Sutardji Calzoum Bachri masih sehat wal afiat alias jagjag waringkas!

Keempat, mengingat yang paling tahu perkara ajar-mengajar itu guru, maka mereka harus dilibatkan dalam ikut menentukan pilihan buku yang direkomendasikan. Tetapi, jangan asal guru! Dalam hal ini, guru yang paham betul perkara dunia jungkir balik kesusastraan. Jadi, yang paling ideal adalah melibatkan guru yang berprofesi sebagai sastrawan atau sastrawan yang juga guru. Informasi dari guru-sastrawan atau sastrawan—guru ini autentik pengalaman mereka di lapangan, bukan berdasarkan konsep ajar-mengajar yang tertulis dalam buku teori. Jadi, guru yang memang seumur hidupnya mengabdi untuk ngajar dan nyastra! Percayalah, mereka bukan kategori kaleng-kaleng. Selain melibatkan guru yang sastrawan, elok juga jika pakar pendidikan, ahli sastra anak, dan kritikus, dijawil untuk ikut urun-rembuk memikirkan program nasional ini.

Kelima, meski daftar karya yang direkomendasikan itu masih dapat dipertanyakan lagi, setidak-tidaknya semangatnya jelas, yaitu menawarkan beragam bacaan untuk siswa SD, SMP, SMA. Tidak perlu diperdebatkan perkara kanonisasi, lantaran tujuannya memang bukan untuk itu. Meski demikian, patut dipahami secara komprehensif dan holistik, dunia yang melingkari pembaca sasaran: tingkat pendidikan, penguasaan materi, usia, wawasan, aspek psikologis, lingkaran budaya, dan seterusnya.

Ringkasnya: persoalan keterbacaan, keterpahaman, dan kesesuaian teks mesti menjadi perhatian utama dalam menentukan bacaan. Maka, langkah menghadapi risiko paling minim, jauh lebih baik daripada memaksakan bacaan tertentu, meski karya itu jadi tonggak sejarah sastra Indonesia, meski di sana ada keterlibatan guru pembimbing. Bukankah lebih baik menawarkan bacaan yang paling aman daripada bacaan yang membuat gurunya sendiri ikut repot memberi alasan pembenaran itu-ini. Apalagi jika dalam buku itu, jelas-jelas ada peristiwa hubungan jantina (jantan-betina).

Secara keseluruhan, buku Panduan itu menyimpan masalah serius. Hampir tidak ada halaman yang tanpa kesalahan (ejaan, tanda baca, kalimat, tipo alias saltik, data publikasi, dll.). Antologi puisi Bunga di atas Batu—Sitor Situmorang, misalnya, gambar jilidnya malah novel Aesna (hlm. 428), kumpulan cerpen Budi Dharma, Orang-Orang Bloomington disebutkan sebagai puisi (hlm. 306). Percayalah, berbagai kesalahan lain, akan sangat mudah kita temukan di sana!

Begitulah, sebagai projek nasional, program “Sastra Masuk Kurikulum” sepertinya menjanjikan masa depan yang cerah bagi dunia pendidikan sastra dan bagi para siswa dalam upaya meningkatkan minat baca. Meski begitu, adanya problem serius pada buku

Panduan, harapan meraih masa depan yang cerah itu, tiba-tiba redup kembali. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain: segera merevisi secara menyeluruh buku Panduan itu sebelum para guru dan siswa tersesat di jalan yang benar!***

Halaman:

Editor: Isbedy Stiawan ZS


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah